Kisah Pengrajin Emas dan Pengrajin Tembaga
Di sebuah
negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan. Seorang
diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin tembaga.
Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah pekerjaan yang
diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan dari
pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.
Hikmah :
Semoga bermanfaat….
Setiap akhir
bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian mereka
biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu, sekaligus
membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah, pekan depan,
akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud memborong
barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Tentu,
berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang akan
dijajakan.
Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.
Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.
Hari pasar
telah tiba, dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah digelar,
tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan.
Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah ..sayang, ada
kontras yang mencolok diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia,
barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak berkilau.
Ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi. Seakan,
sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.
“Ah, biar
saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa
perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan memilih daganganku,
sebab, emas selalu lebih baik dari tembaga,” ujar pengrajin emas lagi, “Apalah
artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya, aku akan membawa
uang lebih banyak darimu.” Pengrajin kuningan, hanya tersenyum. Ketekunannya
mengasah logam, membuat semuanya tampak lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus.
Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperli lingkaran yang tak
putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap di pandang mata.
Ketekunan,
memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat, tak menaruh perhatian
kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi, dan melihat-melihat cincin
dan kalung tembaga. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Mereka pun
lebih menyukai benda-benda tembaga itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab,
emas itu tidaklah cukup mereka tertarik, dan mau membelinya. Sekali lagi,
terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas yang tertegun diam,
dan pengrajin tembaga yang tersenyum senang.
Hari pasar
telah usai, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu pun telah
selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran dari apa
yang telah mereka lakukan hari itu.
Hikmah :
Sobat,
ketekunan memang sesuatu yang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalani pekerjaan
ini. Begitupun juga kemuliaan dan harga diri, tak banyak orang yang menyadari,
bahwa kedua hal itu, kadang tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini. Setidaknya,
tindak-laku kedua pengrajin itu, adalah potongan siluet kehidupan kita.
Ketekunan,
adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali, jalan panjang itu membuat
kita terpelincir, dan jatuh. Seringkali pula, titian itu menjadi saringan
penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung simpulnya.
Namun, percayalah, ada balasan bagi setiap ketekunan. Di ujung sana, akan ada
sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.
Emas dan
kuningan, bisa jadi punya nilai yang berbeda. Namun, apakah kemuliaan dinilai
hanya dari apa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari
simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari pengrajin
kuningan, bahwa loyang, kadang bernilai lebih dibanding logam mulia. Dan juga
bahwa kemuliaan, adalah buah dari ketekunan.
Bisa jadi
saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup sempurna
layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jika ulir-ulir hati kita
kasar dan kusam? Adakah itu mulia jika, lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh
dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga, jika,
pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya, tak di penuhi dengan simpul-simpul
ikhlas dan perangai yang luhur?
Nice story..
'Modal' bagus, seperti kepandaian, dll, kalau tidak diasah dengan tekun pun hasilnya jadi jelek.
Btw, memangnya kuningan = tembaga? *maaf, OOT*
wah makasih koreksiannya, maklum udah ngantuk hehe...
iya ceritanya bagus sebenarnya, tapi sedikit rancu makanya sempet bingung juga. hehehehe, tapi bagus ceritanya, maknanya dalem.
sebuah pelajaran yang sangat berharga sekali bagi orang yang mau memikirkannya. maka ambillah hikmah dr crita tersebut untuk kehidupan kita sehari-hari,,,
bagus sekali cerita
Cerita ini bagus gan, hanya sebagian kecil dan sangat sedikit yang harus diperbaiki, sukses dan semoga bermanfaat